DALAM
kisah-kisah Puyang, selain memuat asal-usul, juga memuat pesan-pesan
dasar yang menjadi aturan adat yang amat dipatuhi oleh masyarakat.
Inilah yang disebut dengan pesan puyang. Satu diantara kisah puyang di
wilayah Batanghari Sembilan adalah Puyang Kemiri yang diakui sebagai
puyang (nenek moyang) orang-orang di dusun (sekarang desa) Kunduran,
sebagian dari masyarakat dusun Simpang Perigi, dan sebagian masyarakat
yang tersebar di dusun-dusun sekitar kecamatan Ulu Musi, Kabupaten Empat
Lawang, daerah perbatasan antara provinsi Sumatera Selatan dan provinsi
Bengkulu. Dahulu daerah ini merupakan bagian dari wilayah marga
Tedajin. Berikut ini ringkasan cerita Puyang Kemiri.
Konon di masa
akhir kejayaan kerajaan Majapahit, Rio Tabuan, seorang biku yang yang
berasal dari negeri Biku Sembilan Pulau Jawa menelusuri sungai Rotan
atau sungai Musi dengan membawa kerbau dan ayam berugo (ayam
hutan). Ketika tiba di Kuto Kegelang, kedua hewan yang dibawanya
berbunyi, maka di tempat inilah dia menetap. Kuto Kegelang berada
beberapa kilo meter di hulu Dusun Kunduran.
Di Kuto Kegelang, dia mendapatkan tujuh orang anak yang bernama:
- Imam Rajo Besak,
- Imam Rajo Kedum,
- Seampai-ampai,
- Maudaro,
- Siap Melayang,
- Robiah Sanggul Begelung
- Serunting Sakti.
Setelah
mendapatkan tujuh orang anak, Puyang Rio Tabuan tidak lagi merasa
kesepian. Anak-anak ini dimintanya dari Mastarijan Tali Nyawo, seorang
penduduk yang tinggal di Surgo Batu Kembang.
Bertahun-tahun
kemudian, Robiah Sanggul Gelung yang cantik dilarikan oleh Seniang Nago
ketika mandi di tepian Sungai Musi. Robiah duduk di atas sebatang kayu
yang rupanya samaran Seniang Nago dan kemudian pelan-pelan bergerak
menjauh dan melarikannya ke Selabung. Lalu Robiah disusul oleh Kerbau
Putih, (seekor kerbau peliharaan Puyang Kemiri, atau penafsiran lain
adalah seorang yang berjuluk Kerbau Putih karena kesaktiannya) untuk
mencari Robiah, atas suruhan saudara-saudaranya.
Kerbau putih
memulai pencariannya dengan menyelam di sana dan muncul di tepian coko
(tepian mandi di seberang dusun Kunduran). Di tempat ini masih dapat
dilihat bekas telapak kaki (tinjak) kerbau putih. Lalu dia menyelam
lagi, muncul kedua kalinya di dusun Tapa dan kemudian menyelam lagi
hingga ketiga kalinya di Selabung.
Pencarian Kerbau Putih ini
berhasil menemukan Robiah tetapi tak berhasil membawakanya kembali ke
Kuto Kegelang. Robiah sudah menikah dengan Seniang Nago. Lalu Kerbau
putih segera pulang ke Kuto Kegelang. Sebagai tanda bukti bahwa dia
sudah bertemu dengan Robiah, Kerbau Putih dibekali dengan seikat
ilalang, seruas bambu, air garam, sebuah kemang, seekor kemuai (keong
putih) serta pesan Puteri Robiah yang ditulisnya di tanduk Kerbau Putih.
Dalam
perjalanan pulang, Kerbau Putih dihadang oleh kerbau Tanduk Emas dan
kemudian dua kerbau ini berkelahi. Kerbau Putih kelelahan dan mati di
dusun Tapa. Perbekalan yang dibawa olehnya berupa ilalang tertumpah dan
tumbuh di daerah ini sehingga menjadi hamparan padang ilalang yang saat
ini dikenal dengan nama Padang Pancuran Emas. Buah Kemang pun tumbuh dan
bambu juga ikut tumbuh di atas tubuh Kerbau Putih, sedangkan Kemuai
diantarkan oleh Puyang Dusun Tapa ke Kuto Kegelang dan sekaligus
menyampaikan pesan tentang Robiah yang tertoreh di tanduk Kerbau Putih.
Berselang beberapa bulan kemudian, Robiah yang sudah memiliki seorang anak berniat pulang (begulang)
ke Kuto Kegelang. Mendengar kabar Robiah akan begulang, semua
saudara-saudaranya amat bahagia, dan segera bermusyawarah untuk
mengadakan sedekahan (kenduri). Tetapi lain halnya dengan
Serunting, di dalam hatinya masih menyimpan rasa sakit karena perlakuan
Seniang Nago yang melarikan Robiah. Karena itu, ketika dia disuruh
mencari ikan, dengan setengah hati dia pergi, dan baru kembali setelah
kenduri usai.
Ketika kembali Serunting hanya membawa seruas bambu,
seperti yang di bawanya semula. Tetapi ternyata, seruas bambu itu
berisi ikan yang tidak habis-habisnya, semua bakul, keranjang bahkan
kolam tidak dapat menampung ikan yang ditumpahkan dari seruas bambu
tersebut. Imam Rajo Besak yang sedari mula sudah kesal dengan Serunting
bertambah marah. Lalu Imam Rajo Besak melemparkan seruas bambu dengan
sangat keras hingga melewati Bukit Lesung dan jatuh di sungai Pelupuh.
Serunting
sakti jadi tersinggung dengan sikap kakak tertuanya ini lalu pergi dari
rumah. Tinggallah Imam Rajo Besak dan ke empat saudaranya. Mereka hidup
tenang dalam beberapa tahun. Lalu mereka diserang oleh segerombolan
orang. Rumah mereka dibakar habis. Tetapi kelima puyang ini dengan
kesaktiannya, tiba-tiba menghilang (silam) dari pandangan orang-orang.
Dalam
sebuah rumah yang mereda dari kobaran api, tampaklah seorang anak yang
duduk di tengah puing-puing rumah. Konon, anak itu bukan hangus tetapi
malah menggigil karena kedinginan. Anak yang bernama Sesimbangan Dewo
ini kemudian dipelihara oleh Puyang Talang Pito (daerah Rejang).
Sesimbangan Dewo, artinya pengimbang puyang yang silam. Beberapa tahun
dia dirawat oleh Puyang Talang Pito. Lalu dia mengembara selama sepuluh
tahun ke negeri lain. Kemudian dia pulang ke sekitar dusun Kunduran,
menetap di Muara Belimbing. Makamnya pun berada di Muara Belimbing.
Setelah
beberapa tahun kemudian, Imam Rajo Besak menjelma kembali. Dia bertemu
dengan Rajo Kedum dari Muaro Kalangan, Raden Alit dari Tanjung Raye, dan
Puyang dari Muara Danau. Keempat orang ini kemudian dikenal dengan nama
empat lawangan (empat pendekar) yang kemudian menjadi cikal bakal kata
Empatlawang. Keempat sahabat kemudian menyerang kerajaan Tuban yang
dipimpin oleh seorang ratu.
Dalam penyerangan yang dipimpin Imam
Rajo besak sebagai panglima mereka mendapatkan kemenangan. Mereka
berhasil memasuki istana dan mengambil beberapa benda yang berharga
termasuk sebilah keris pusaka Ratu Tuban yang diambil sendiri oleh Rio
Tabuan dengan ujung kujur (tombak) pusakanya, karena ketiga temannya
tidak mampu. Kedua pusaka ini, hingga saat ini masih tersimpan di jurai
tuo (keturunan yang memiliki garis lurus dengan puyang Imam Rajo Besak)
yang tinggal di dusun Kunduran.
Puyang Kemiri memberikan sumpah kepada keturunannya yang jika tidak dipatuhi akan mendapat keparat (kualat). Inilah 3 sumpah Puyang Kemiri :
(1) beduo ati dalam dusun nedo selamat (berdua hati di dalam dusun tidak selamat),(2) masukkan risau dalam dusun nedo selamat (memasukkan pencuri di dalam dusun tidak selamat),(3) iri dengki di dalam dusun nedo selamat (iri dengki di dalam dusun tidak selamat).
Selain itu, puyang Kemiri pun memesankan tujuh larangan lagi, yakni:
- nyapakan kaparan ke ayik (membuang sampah ke sungai),
- mandi pakai baju dan celano (mandi memakai baju dan celana; biasanya orang di dusun kalau mandi memakai telasan (kain penutup tubuh yang dipakai khusus untuk mandi), buang air besar/kecil di atas pohon,
- ngambik puntung tegantung (mengambil kayu bakar yang tergantung di pohon),
- ngambik putung anyot (mengambil kayu bakar yang hanyut di sungai,
- mekik-mekik di ayik dan di hutan (berteriak di hutan atau di sungai),
- nganyotkan kukak gebung (menghanyutkan kulit rebung di sungai).
Analisis pesan:
Jika mencermati ketiga sumpah puyang, pertama, agar seseorang tidak
boleh bersikap mendua hati, artinya seseorang harus setia pada
kesepakatan awal. Tidak boleh memasukkan pencuri atau berkhianat,
apalagi menjadi pencuri betulan. Artinya kejujuran merupakan hal yang
paling utama dalam meningkatkan kepribadian seorang manusia.
Selanjutnya, anak cucu Puyang Kemiri harus bersih hati dari iri dan
dengki. Ketiga, norma dasar ini merupakan sikap dasar yang harus
dimiliki oleh orang yang baik.Pada bagian kedua, poin satu, dan poin
lima, umpamanya, pesan ini berspektif lingkungan.
Bagaimana
puyang-puyang dahulu telah memikirkan cara menjaga sungai dan melindungi
hutan. Sungai dan hutan yang di dalamnya bergantung kehidupan
tumbuh-tumbuhan dan hewan lainnya, merupakan satu mata rantai yang
saling membutuhkan. Karenanya, mata rantai ini harus dijaga dalam garis
keseimbangan. Simaklah larangan puyang yang tidak boleh membuang sampah
di sungai, artinya jika membuang sampah tentu akan membuat sungai
tercemar.Poin lima, pesan puyang melarang orang mengambil kayu bakar
yang hanyut di sungai.
Jika direnungi lebih lanjut, larangan ini
tidak hanya melarang orang mengambil kayu bakar tetapi sebenarnya juga
tidak boleh menebang pohon di tepi sungai. Karena biasanya pohon yang
hanyut di sungai adalah pohon yang diambil di tepi sungai, atau yang
dihanyutkan melalui sungai. Saat ini, kita lihat betapa banyak
orang-orang mengangkut gelondongan kayu yang tidak sah (illegal logging)
di sungai. Jadi, tidak hanya kayu bakar tetapi kayu-kayu besar sudah
dijarah oleh orang-orang yang serakah. Akibatnya bencana banjir menjadi
langganan tahunan bagi masyarakat daerah ini.
Poin tujuh, puyang melarang seseorang menghanyutkan kulit rebung yang bermiang
(bulu-bulu halus yang menempel di kulit rebung dan akan menyebabkan
gatal-gatal jika terkena kulit manusia) di sungai. Maksudnya, kulit
rebung yang mengandung miang jika dihanyutkan akan membuat miangnya
hanyut dan jika ada orang yang mandi maka dia akan terkena miang yang
dapat menyebabkan tubuhnya menjadi gatal. Selanjutnya, pada poin tiga,
melarang orang membuang kotorannya di atas kayu. Takutnya jika ada orang
lewat di bawahnya tentu akan membuat celaka juga. Jika dipahami lebih
luas, poin tujuh adalah larangan puyang agar tidak berbuat yang dapat
mengakibatkan orang lain celaka.
Poin dua, dan poin empat
merupakan kiasan perbuatan yang dapat mencelakakan diri sendiri. Cobalah
pikirkan, jika seseorang mandi pakai baju dan celana, tentu mandinya
tidak dapat terlalu bersih dan jika tiba-tiba hanyut, tentu celana dan
baju akan menjadi berat jika dibawa berenang. Begitu juga dengan
mengambil kayu bakar yang tergantung, salah-salah akan menimpa
dirinya.Poin enam dilarang berteriak di sungai dan di hutan. Umumnya
masyarakat di uluan Sumatra Selatan melarang berteriak di sungai dan di
dalam hutan. Sebab, berteriak di dalam hutan akan mengganggu ketenangan
hewan-hewan, dan bahkan bisa mengejutkan binatang buas. Jika binatang
buas terkejut tentu saja akan mendatangkan celaka bagi diri sendiri.
Larangan-larangan
puyang di atas sebagian besar bersumber dari cerita Puyang Kemiri itu
sendiri, misalnya, tentang larangan mengambil kayu bakar yang hanyut,
ini ada kaitannya dengan Puyang Seniang Nago yang menyamar menjadi
sebatang kayu yang rebah di tepian. Begitu juga dengan sikap hati
mendua, dan iri hati di dalam dusun. Hal ini ada kaitannya dengan cerita
Puyang Serunting Sakti yang tidak ikhlas menjalankan tugas yang sudah
disepakati dan diperintahkan oleh Imam Rajo Besak. Pesan-pesan kearifan
lokal seperti ini, jika dilihat secara substansi merupakan nilai-nilai
yang universal dan bersumber dari adat. Tetapi seringkali, nilai-nilai
yang berlaku secara adat, saat ini dianggap tidak masuk akal dan berbau
kemenyan. Padahal, kearifan lokal seperti ini oleh masyarakat adat
sangat dipatuhi. Karena mereka sangat yakin, apabila tidak dipatuhi akan
mendatangkan balak (malapetaka). Dimana-mana seolah-olah mata
puyang selalu mengawasi mereka. Hal ini sangat masuk akal. Saya kira,
siapa pun yang melanggar ketentuan Puyang Kemiri akan tidak selamat dan
tidak sempurna hidupnya. Bagaimana hidupnya mau selamat jika mendua hati
(berhianat), pencuri, dan tidak jujur.
Dari sisi budaya, legenda
Puyang Kemiri merupakan modal sosial budaya yang perlu dijaga.
Sejatinyalah, legenda Puyang Kemiri merupakan sumber hukum adat yang
memiliki nilai-nilai universal, menjunjung persatuan, menjunjung rasa
hormat terhadap diri sendiri, rasa hormat terhadap orang lain dan
terhadap lingkungan alam lainnya.Selanjutnya tugas para agamawan dan
budayawan menyambungkan substansi nilai-nilai tersebut dengan
ajaran-ajaran agama Islam yang juga memiliki nilai-nilai yang sama, dan
lalu menyambungkannya dengan nilai-nilai yang berkembang dalam era saat
ini. Sehingga nilai adat dapat bersinergi dengan nilai agama dan nilai
kebudayaan yang telah mengamali kegayauan (kegamangan).
|