Tim Pelacakan Sejarah ini dibentuk oleh Panitia Mudzakarah Ulama
Serumpun Melayu pada bulan Agustus 2007 lalu. Tugasnya adalah menemukan
fakta apakah benar pada abad ke 17 masehi telah berkumpul para ’ulama di
Sumatera Selatan untuk bermudzakarah? Sejumlah pertanyaan penting yang
harus dijawab antara lain : apa latar belakangnya mudzakarah tersebut;
siapa saja tokohnya; dimana lokasinya; dan apa isi mudzakarah tersebut;
hasil-hasilnya; serta pengaruhnya terhadap ummat Islam khususnya di
Rumpun Melayu?
Untuk menjawab berbagai pertanyaan awal di atas, maka dalam tim ini
dibentuk dua bidang tugas. Pertama, bertugas untuk menggali fakta dari
literatur atau tulisan sejarah di buku, internet, serta asip-arsip kuno
di perpustakan dan di masyarakat. Kedua, melalui wawancara langsung
dengan pakar sejarah dari Perguruan Tinggi, Musium Purbakala, serta
tokoh masyarakat yang merupakan keturunan dari pelaku sejarah. Juga
dilakukan tinjauan langsung ke lokasi sejarah di daerah Perdipe. Tim ini
bekerja sekitar dua bulan sejak dibentuk. Kemudian hasil penelitian ini
telah disampaikan pada Musyawarah Pleno ke 1 DP3MU September 2007 lalu
di Auditorium Yayasan AKUIS Pusat, Banyuasin, Sumatera Selatan.
Berdasarkan Hasil Pelacakan Sejarah yang telah dilakukan, maka ada beberapa bukti sejarah yang ditemukan :
1. Pada tahun 1650 masehi atau 1072 hijriyah telah bertemu sekitar 50 ’ulama di Perdipe, Sumatera Selatan.
2. Mereka berasal dari wilayah Rumpun Melayu yang meliputi Pulau Jawa,
Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Malaka, Fak-Fak- Papua, Ternate, dan
Kepulauan Mindanau.
3. Hasil Mudzakarah ini memunculkan perluasan dakwah Islam yang
berakibat terkikisnya faham anismisme dan budaya jahiliyah di
masyarakat.
4. Munculnya kader-kader mujahid yang mengadakan perlawan terhadap penjajah Eropa.
5. Terjadinya perluasan wilayah Islam yang ditandai dengan munculnya
Kesultanan yang baru yang masing-masing saling bekerjasama secara baik.
A. Siapakah Tokoh Sentral pada Mudzakarah ’Ulama Serumpun Melayu abad 17 M
Berdasarkan arsip kuno berupa kaghas (tulisan dengan huruf ulu diatas
kulit kayu) yang ditemukan di Dusun Penghapau, Semende Darat, Kabupaten
Muara Enim, Sumatera Selatan yang diterjemahkan pada tahun 1974 oleh
Drs. Muhammad Nur (ahli purbakala Pusat Jakarta), ada beberapa catatan
sejarah. Bahwa pada tahun 1072 Hijriyah atau 1650 Masehi telah ada
seorang tokoh ’Ulama yang bernama Syech Nurqodim al-Baharudin yang
bergelar Puyang Awak yang mendakwahkan Islam di daerah dataran Gunung
Dempo Sumatera Selatan.
Menurut buku ”Jagad Basemah Libagh Semende Panjang”, Terbitan Pustaka
Dzumirah, Karya TG.KH. Drs. Thoulun Abdurrauf, dinyatakan bahwa pada
abad ke 14 – 17 Masehi, kaum Imperialis dan Kapitalis Eropa (Portugis,
Inggris, dan Belanda) telah merompak di lautan dan merampok di daratan
yang diistilahkan dalam bahasa melayu, yaitu mengayau. Mereka dengan
taktik devide et impera berusaha memecah-belah penduduk di Rumpun Melayu
yang berpusat di Pulau Jawa dan Semenanjung Malaka. Maka para waliullah
di daerah tersebut dengan dipelopori oleh Syech Nurqodim al-Baharudin
pada tahun 1650 M / 1072 H menggelar musyawarah yang berpusat di Perdipe
(Sekarang masuk wilayah Kota Pagar Alam, Dataran Gunung Dempo, Sumatera
Selatan). Tujuan musyawarah ini antara lain guna menyusun kekuatan bagi
persiapan perang bulan sabit merah untuk menumpas ekspansi perang salib
di Asia Tenggara.
Masih menurut beliau, bahwa kosa kata ”belanda” konon adalah sebutan
bahasa melayu untuk orang netherlands. Kata belanda berasal dari dua
suku kata ”belah” (memecah) dan ”nde” (keluarga), maknanya ”tukang
memecah-belah keluarga”. Berbeda maknanya dengan kata ”semende” dari
dua suku kata ”same” (satu) dan ”nde” (keluarga), maka maknanya ”satu
keluarga” yaitu persaudaraan mukmin.
B. Siapakah Syech Nurqodim al-Baharudin
Syech Nurqodim al-Baharudin adalah cucu dari Sunan Gunung Jati dari
Putri Sulungnya Panembahan Ratu Cirebon yang menikah dengan Ratu Agung
Empu Eyang Dade Abang. Syech Nurqodim al-Baharudin kecil, beserta ketiga
adiknya dididik dengan aqidah Islam dan akhlaqul karimah oleh orang
tuanya di Istana Plang Kedidai yang terletak di tepi Tanjung Lematang.
Sewaktu remaja beliau digembleng oleh para ’ulama dari Aceh
Darussalam yang sengaja didatangkan ayahnya. Ketika tiba masanya menikah
beliau menyunting gadis dari Ma Siban (Muara Siban), sebuah dusun di
kaki Gunung Dempo yang memiliki situs Lempeng Batu berukir Hulu Balang
menunggang Kuda dengan membawa bendera Merah Putih (lihat buku ”5000
tahun umur merah putih” karya Mister Muhammad Yamin). Setelah
bermufakat, beliau sekeluarga beserta adik-adiknya, keluarga dan
sahabatnya membuka tanah di Talang Tumutan Tujuh, sebagai wilayah yang
direncanakan beliau untuk menjadi Pusat Daerah Semende.
Menurut salah seorang keturunan beliau yang masih ada sekarang-TSH
Kornawi Yacob Oemar-, dalam sebuah makalahnya dinyatakan bahwa, Syech
Baharudin adalah pencipta adat Semende. Sebuah adat yang mentransformasi
perilaku rumahtangga Nabi Muhammad SAW. Beliau juga pencetus falsafah
”jagad besemah libagh semende panjang”, yaitu ”Negara Demokrasi”
pertama di Nusantara (1479-1850). Akan tetapi ”negara” itu runtuh akibat
peperangan selama 17 tahun (1883-1850) malawan kolonial Belanda.
Sebelum ke Tanah Besemah, Syech Baharudin bermukim di Pulau Jawa dan
hidup satu zaman dengan Wali Songo. Beliau sangat berpengaruh di di
bahagian tengah dan selatan Pulau Jawa. Sedangkan Wali Songo pada masa
sebelum berdirinya Kerajaan Bintoro Demak memiliki pengaruh di Pantai
Utara Pulau Jawa. Tertulis dalam Kitab Tarikhul Auliya, bahwa untuk
mendirikan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa-yaitu Demak, maka ada 16
orang wali bermusyawarah di Masjid Demak termasuk pula Syech Baharudin
dan beberapa wali dari Pulau Madura.
Dalam musyawarah itu Sunan Giri menginginkan agar dibentuk suatu
negara Kerajaan dengan mengangkat Raden Fatah sebagai raja /sulthan
dengan alasan negara baru tersebut tidak akan diserbu balatentara
Majapahit, mengingat Raden Fatah adalah anak dari raja Majapahit. Konon
dari 16 wali tersebut, 9 orang yang mendukung pendapat ini dan tujuh
orang yang berbeda pemahaman dalam strategi dakwahnya termasuk Syech
Baharudin.
Syech Baharudin (Puyang Awak) menginginkan suatu daulah seperti
Madinah al Munawarah pada masa Rosulullah SAW. Namun demi menjaga
persatuan ummat Islam yang kala itu jumlah belum banyak, beliau
memutuskan untuk hijrah (melayur) ke Pulau Sumatera. Dari tanah Banten
beliau menyeberang ke Tanjung Tua-ujung paling selatan Pulau Sumatera-.
Kemudian menyusuri pesisir timur, yaitu daerah
Ketapang-Menggala-Komering-Palembang-Enim dan Tiba di Tanah Pasemah lalu
menetap disana tepatnya di Perdipe.
Disepanjang perjalanan, sebagai seorang mubaligh beliau selalu
mendatangi tempat-tempat dimana masyarakat masih belum mengenal
agamaTauhid dan akhlaqul qarimah, untuk mengajarkan nilai-nilai ajaran
Islam dengan metode yang sangat sederhana yaitu memepergunakan kultur
budaya masyarakat setempat sehingga dapat dimengerti dengan mudah oleh
seluruh lapisan masyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat beberapa suku di perdalaman Sumatera
Bagian Selatan, Puyang Awak adalah penyebar agama Islam yang sangat
kharismatik. Nama beliau menjadi legenda dari generasi ke generasi
terutama sikap beliau yang menunjukkan rasa peduli dan kasih sayang yang
sangat tinggi terhadap semua makhluk ciptaan Allah.
Di tanah Pasemah pada waktu itu, Puyang Awak melihat pola hidup
masyarakat sangat jauh dari kehidupan yang islami.Adanya praktek-praktek
perbudakan dikalangan masyarakat.Perampokan dan penjarahan bagkan
penculikan terhadap wanita dan anak-anak dari suku-suku lain disekitar
Basemah [dalam bahasa basemah disebut ’nampu’] untuk dijadikan budak
[dalam bahasa pasemah disebut ’pacal’], dianggap suatu kebanggaan.
Bahkan ada satu keluarga besar yang memiliki ratusan ekor kerbau dan
sapi serta puluhan orang pical, pada waktu ia mengadakan suatu pesta
pernikahan anaknya, dengan pesta besar-besaran dengan menyembelih
puluhan ekor sapi dan kerbau. Untuk menambah ’kebanggaan’ dari keluarga
tersebut, maka diumumkan bahwa yang punya hajatan juga akan ’menyembelih
seorang pacal’. Suatu bentuk kedzaliman yang melebihi perbuatan kaum
jahiliyah Suku Quraisy di Kota Mekkah pada zaman nabi Muhammad SAW.
Pola hidup masyarakat Basemah yang liar, zalim, dan biadab seperti
itu, bukan hanya diceritakan kembali secara turun-tumurun dari generasi
ke generasi, melainkan tercatat pula pada tulisan-tulisan kuno aksara
ka-ga-nga yang dijadikan benda-benda pusaka oleh tua-tua adat dari
suku-suku sekitar Basemah, antara lain di daerah Enim. Intinya
memperingatkan warga agar berhati-hati dan selalu waspada terhadap
kedatangan para perampok dari Basemah yang sering menjarah harta benda
serta menculik wanita dan anak-anak mereka. Bahkan selain itu Marco Polo
[abad12], membuat catatan khusus tentang Basemah yang berbunyi..’Basma,
where the people’s like a beast withuot law or religion….’ [basemah,
penduduknya bagaikan binatang buas, tanpa aturan atau agama ]
Puyang Awak yang memperhatikan kehidupan suku Basemah yang liar,
zalim tanpa hukum dan agama tersebut, justru berpendapat bahwa di tanah
basemah inilah tempat yang tepat untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam
yang bersumber dari Kitab Suci Al-Qur’an yang diturunkan ALLAH SWT
kepada nabi Muhammad SAW, untuk meng-agama-kan masyarakat yang belum
beragama.
Akan tetapi perlu kita fahami bahwa metode yang dipergunakan oleh
Puyang Awak dalam menyebarkan ajaran Islam yang mendasar tersebut, tidak
mempergunakan bahasa Arab, melainkan beliau rumuskan kedalam bahasa
Pasemah yang cukup dikenal sampai saat ini yaitu ’falsafah GANTI nga
TUNGGUAN [Akhlakul Karimah].
C. Hubungan Darah Syaikh Baharudin dengan Sunan Gunung Jati
Mengutip dari buku ”Kisah Walisongo”, Karya Baidhowi Syamsuri, terbitan Apollo Surabaya didapatkan data sebagai berikut.
Adalah dua orang putra Prabu Siliwangi bernama Pangeran Walang
Sungsang dan Putri Rara Santang belajar Dinul Islam kepada Syaikh Idlofo
Mahdi atau Syaikh Dzathul Kahfi-seorang Ulama dari Baghdad yang menetap
di Cirebon dan mendirikan Perguruan Islam. Karena kedua anak Raja
Siliwangi tersebut tidak mendapat izin dari sang ayah, maka mereka
melarikan diri ke Gunung Jati untuk belajar tentang Islam. Setelah cukup
lama menuntut ilmu, keduanya diperintahkan sang syaikh untuk membuka
hutan di selatan Gunung Jati yang kemudian dijadikan pedukuhan yang
akhirnya menjadi ramai. Tempat ini kemudian dinamakan ”Tegal
Alang-Alang” dan Pangeran Walang Sungsang diberi gelar ”Pangeran Cakra
Buana” serta diangkat sebagai pimpinannya.
Syaikh Kahfi atau Datuk Kahfi memerintahkan kepada kedua muridnya
tersebut untuk menunaikan haji ke Mekkah dilanjutkan dengan belajar
Islam kepada Syaikh Bayanillah. Akhirnya Rara Santang menikah dengan
seorang penguasa Mesir keturunan Bani Hasyim yang bernama Sultan Syarif
Abdullah-dikenal juga dengan Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda. Rara
Santang namanya diganti dengan Syarifah Mudaim. Dari pernikahan ini
lahirlah dua orang putra, Syarif Hidayatullah dan adiknya Syarif
Nurullah.
Setelah Sultan Syarif Abdullah wafat, kedudukannya digantikan oleh
putra keduanya Syarif Nurullah, karena putra pertamanya Syarif
Hidayatullah tidak suka naik takhta dan lebih memilih pulang ke tanah
Jawa beserta ibunya untuk mendakwahkan Islam. Syarif Hidayatullah inilah
yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati yang bersama-sama
Senopati Demak Bintoro, yaitu Fatahillah yang melakukan penyerangan dan
pengusiran Bangsa Portugis dari Sunda Kelapa.
Sedangkan Pangeran Cakra Buana setelah tinggal tiga tahun di Mesir
kembali ke Jawa dan mendirikan negeri baru yaitu Caruban Larang. Prabu
Siliwangi sebagai penguasa Jawa Barat telah merestui tampuk pemerintahan
putranya ini dan memerinya gelar ”Sri Manggana”.
Dalam perjalanan dakwahnya, Sunan Gunung Jati telah sampai ke negeri
Cina, dimana terdapat undang-undang yang melarang rakyatnya memeluk
Islam. Disana beliau membuka praktek sistem pengobatan. Setiap yang
datang berobat diajarinya berwudhu dan sholat. Orang cina kemudian
mengenalnya sebagai sinshe dari jawa yang sakti dan berilmu tinggi.
Akhirnya banyak diantara penduduknya memeluk Islam, termasuk seorang
menteri Cina bernama Pai Lian Bang. Bahkan Kaisar Cina meminta Sunan
Gunung Jati untuk menikahi putrinya yang bernama Ong Tien. Sunan Gunung
Jati tidak mau mengecewakan sang kaisar, maka pernikahan tersebut
dilangsungkan, kemudian ia pulang ke Jawa beserta Ong Tien.
Keberangkatannya ke Jawa dikawal dua Kapal Kerajaan yang dikepalai
murid Sunan Gunung Jati, Pai Lian Bang. Kapal yang ditumpangi oleh Sunan
Gung Jati berangat lebih dahulu dan singgah di Sriwijaya karena tersiar
kabar bahwa adipati Sriwijaya yang berasal dari Majapahit bernama Ario
Damar atau Ario Abdillah (nama Islamnya) telah meninggal dunia. Makam
beliau dapat kita lihat sampai sekarang di Jalan Ariodillah Palembang.
Sedangkan Ario Abdillah ini adalah anak tiri dari Fatahillah.
Karena kedua putra dari Ario Abdillah telah menetap di Jawa, maka
Sunan Gunung Jati mengharapkan agar rakyat Sriwijaya berkenan mengangkat
Pai Lian Bang sebagai adipati supaya tidak ada kekosongan kepemimpinan.
Pai Lian Bang tidak menolak atas pengangkatannya, ia berkata :
”…seandainya bukan Sunan Gunung Jati sebagai guruku yang menyuruhku,
maka aku tidak akan mau diangkat menjadi adipati…”.
Dengan bekal ilmu selama menjadi menteri di Cina, Pai Lian Bang
berhasil membangun Sriwijaya. Pesantren dan madrasah benar-benar
dikembangkannya dan beliau menjadi Guru Besar dlam Ilmu Ketatanegaraan.
Murid-muridnya cukup banyak yang datang dari Pulau Jawa dan Sumatera
termasuklah seorang cucu Sunan Gunung Jati dari Putrinya Panembahan Ratu
yang dinikahi oleh Danuresia (Empu Eyang Dade Abang) yang bernama
Syaikh Nurqodim al Baharudin (di sumsel dikenal dengan Puyang Awak).
Pada akhirnya setelah Pai Lian Bang wafat, Sriwijaya diganti nama
menjadi PALEMBANG yang diambil dari nama PAI LIAN BANG.
D. Latar Belakang Mudzakarah ’Ulama Serumpun Melayu Tempo Dulu
Setiap ulama yang shohih dapat dikenali langkah-langkahnya yang
senatiasa menyusuaikan dengan panduan Alqur-an dan sunnah Rosul.
Demikian pula analisis kami terhadap gerakan yang dibangun Syaikh
Nurqodim al-Baharudin. Dengan segala keterbatasannya selaku manusia
biasa dan dengan kesemangatannya selaku hamba Allah yang diberi amanah
ke’ulamaan beliau telah berupaya membangun tata kehidupan masyarakat
madani yang di contohkan Rosulullah Muhammad SAW. Inilah latar belakang
pokok mudzakarah tersebut yaitu ingin mewujudkan tata kehidupan
masyarakat yang diatur dengan Syariat Dinullah dengan panduan dari
Rosulnya. Beliau tidak bermaksud membangun kekuasan dengan sistem
kerajaan. Namun masyarakat madani yang tunduk pada kepemimpinan Allah
dan Rosul dengan ’Ulama sebagai Ulil Amrinya.
Kemudian dengan melihat situasi dan kondisi perkembangan Islam di
Eropa, Afrika, Asia, hingga wilayah Nusantara memberikan peluang yang
besar kepada para ’ulama untuk menyebarkan ajaran Islam ke seluruh
dunia, sehingga memberi corak tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat.
Terciptanya kestabilitasan dan perbaikan sistem kehidupan yang meliputi
aspek sosial, budaya, ekonomi, pemerintahan dan keamanan, militer dan
ilmu pengetahuan merupakan salah satu effect positif penyebaran melalui
Dakwah dan Jihad.
Di rumpun melayu, khususnya setelah terjadi kekosongan kekuasaan di
wilayah Sumatera Selatan akibat runtuhnya kekuasaan Sriwijaya dan
Majapahit, dan terjadinya peralihan kekuasaan dari kerajaan Demak ke
Pajang dan Mataram, sementara di wilayah Besemah (Pagaralam) masyarakat
mengalami disintegrasi nilai-nilai kebudayaan yang mengakibatkan
terciptanya kekacauan dalam sistem kehidupan sosial kemasyarakatan
sehingga mereka kehilangan norma dan aturan yang mengatur tatanan
kehidupan sosial. Hal ini yang menjadi faktor kedua dan mengilhami
proses penyebaran Islam di wilayah Besemah dan Semendo oleh para ’ulama
melalui proses mudzakarah.
Demikianlah dua latar pokok munculnya pertemuan ulama pada masa itu,
yaitu ittiba kepada panduan Allah dan Rosul dengan gambaran dalilnya
antara lain Surah al Anfal ayat 72, mengenai perintah iman, hijrah dan
jihad. Selanjutnya kedua, yaitu kondisi dunia dan ummat yang menghendaki
para ’ulama agar bersepakat mengangkat Islam.
E. Lokasi dan Hasil Keputusan Mudzakarah Ulama Tempo Dulu
Keberadaan dan kegiatan dakwah yang dilakukan beliau lama-kelamaan
mulai tersebar. Bahwa di daerah Batang Hari Sembilan telah ada seorang
aulia yang bernama Syaikh Nur Qodim Al Baharudin. Banyaklah penghulu
agama / pemuka agama dari berbagai daerah berdatangan memenuhi ajakan
Puyang Nur Qodim untuk bermukim di Talang Tumutan Tujuh akhirnya
diresmikanlah oleh Puyang Ratu Agung Empuh Eyang Dade Abang menjadi
”dusun Paradipe” (para penghulu agama) tahun1650 M / 1072 H sekarang
dinamakan dusun Tue. Dari perluasan daerah inilah disebut wilayah jagad
Semende Panjang Basemah Libagh.
Kegiatan pembukaan wilayah oleh Syaikh al Baharudin antara lain :
1. Pembukaan dusun dan Wilayah Pertanian Pagaruyung yang dipimpin
oleh Puyang Ahmad Pendekar Raje Adat Pagaruyung dari Tanah Minang Kabau.
2. Pembaharuan dusun serta pemekaran Wilayah Peghapau yang dipimpin oleh
Puyang Prikse Alam, dan Puyang Agung Nyawa beserta Puyang Tuan Kuase
Raje Ulieh dari negeri Cina yang nama aslinya Ong Gun Tie.
3. Pembukaan Dusun dengan pemukiman di dusun Muara Tenang oleh Putra
Sunan Bonang dari Jawa. Di Tanjung Iman oleh Puyang Same Wali, di Padang
Ratu oleh Puyang Nakanadin, di Tanjung Raye oleh Puyang Regan Bumi dan
Tuan Guru Sakti Gumai serta di Tanjung Laut oleh Puyang Tuan Kacik
berpusat di Pardipe.
4. Pemekaran pembukaan wilayah Marga Semende, Muare Saung dan Marga Pulau Beringin (OKU).
5. Pembukaan wilaya Marga Semende Ulu Nasal dan Marga Semende Pajar Bulan Segirin Bengkulu.
6. Pembukaan dusun dan wilayah pertanian di Lampung yakni Marga Semende
Waitenang, Marga Semende Wai Seputih, Marga Semende Kasui, Marga Semende
Peghung dan Marga Semende Ulak Rengas (Raje Mang Kute) Muchtar Alam.
Pendiri Adat Semende
1. Ratu Agung Umpu Eyang Dade Abang (Bapak Nur Qodim – Puyang Awak).
2. Puyang Awak Syaikh Nurqodim Al Baharudin.
3. Puyang Mas Penghulu Ulama Panglima Perang dari Gheci Mataram Jawa.
4. Ahmad Pendekar Raje Adat Pagaruyung dari Minang Kabau (Sumbar).
5. Puyang Sang Ngerti Penghulu Agama dari Tebing Rindu Ati Bangkahulu (Bengkulu).
6. Puyang Perikse Alam dari Lubuk Dendan Mulak Basemah.
7. Puyang Agung Nyawe.
8. Puyang Lurus Sambung Ati dari gunung Puyung Banten Selatan Jabar.
9. Tuan Kuase Raje Ulie Depati Penanggungan.
10. Puyang Lebi Abdul Kahar dari Pulau Panggung.
11. Tuan Mas Pangeran Bonang Muara Tenang.
12. Regan Bumi Nakanadin samewali Tanjung Raya.
13. Tuan Kecil dari Tanjung Laut.
Mengenai hasil keputusan yang di dapat, antara lain adalah munculnya
rumusan kesepakatan ulama mengenai tahapan waktu kaderisasi ummat dan
masa tegaknya daulah Islam di Rumpun Melayu. Rumusan ini menggunakan
bahasa melayu setempat yang tercatat sampai saat ini dan mengandung
pesan yang amat kuat, yaitu ”Tujuh Ganti Sembilan Gilir”. Terjemahnya
adalah tujuh generasi dan sembilan masa pergiliran Kesultanan”. Satu
generasi adalah sekitar 40 tahun sehingga makna tujuh ganti adalah 280
tahun masa pengkaderan atau persiapan ummat ummat Islam untuk bangkit
dan mengusir penjajah dari Eropa. Terbukti sekitar 300 tahun kemudian
dari tahun 1650 penjajah belanda angkat kaki dari negeri ini. Kemudian
Kesultanan Mataram sebagai pusat komunikasi dari kesultanan lain di
rumpun melayu diberi batas amanah sampai ke 9 kepemimpinan untuk
selanjutnya menegakkan Syariat Islam secara total.
Data mengenai ulama yang hadir antara lain 40 ulama Malaka yang
berangkat dari Johor, utusan Mataram Raden Seto dan Raden Khatib dan
beberapa utusan lain dari Pagaruyung dan beberapa dari wilayah Rumou
Melayu lainnya. Lokasi Mudzakarah Ulama ini adalah di Dusun Perdipe
(Para Dipo; para penghulu agama).
Demikianlah sekelumit data yang diperoleh, setelah dilakukan
eksplorasi data literatur dan lapangan. Namun demikian segala sumber
keterangan apabila bukan bersumber selain alqur-an akan ditemua ikhtilaf
(perbedaan) seperti yang dijelaskanNYa dalam Surah Annisa 82. Maka kami
pun membuka segala kesempatan untuk melengkapi, mengkoreksi dan
meluruskan data sejarah ini.
Sumber: al-islam.net
|