Besemah suatu terminology
lebih dikenal dekat dengan satu bentuk kebudayaan dan suku yang berada
disekitar gunung Dempo dan pegunungan Gumay. Wilayah ini dikenal dengan
Rena Beemah. Sedangkan untuk terminology politik dan pemerintahan,
dipergunakan nomenklatur Pasemah. Pada masa kolonila oleh Inggris dan
Belanda menyebutnya Pasumah, bahkan sampai sekarang Pemerintah Republik
Indonesia masih menyebutnya Pasemah.
Tanah Besemah
merupakan dataran tinggi yang terletak di kaki Bukit Barisan
mengelilingi Gunung Dempo, beriklim tropis, berudara sejuk, dikenal
sebagai salah satu daerah penghasil kopi, teh, dan sayur mayur.
Penduduk
tanah besemah termasuk rumpun suku Melayu Tengah, sejak dahulu sudah
dikenal mempunyai peradaban dan nilai-nilai budaya tinggi. Hal ini
dibuktikan banyaknya peninggalan Prasejarah dalam bentuk arca, menhir
serta tulisan yang belum dapat dibaca, seni tutur dalam bentuk guritan,
tadut, rejung dan lain-lain; permainan alat musik tradisional berupa
ginggung dan lain-lain.
Dalam sistem kekerabatan secara umum
masyarakat Besemah menganut sistem patrilineal, artinya menganut garis
keturunan laki-laki, maka timbul istilah meraje untuk garis keturunan
dari laki-laki dan anak belay untuk garis keturunan dari perempuan.
Sesuai dengan perjalanan waktu sistem kekerabatan dari patrilineal juga
mengalami perkembangan ke arah bilateral melalui alter nerend. Demikian
pula masyarakat yang tadinya bersifak komunal yang didasarkan pada
ikatan keturunan teritorial, genelogis, telah terkontaminasi oleh
pengaruh peradaban dunia Barat yang dikenal dengan faham materialistis
dan individualistis, sehingga seolah-olah masyarakat Tanah Besemah sudah
tercabut dari nilai-nilai dasar persamaan garis keturunan, persamaan
tanah leluhur, rasa dan tanggung jawab terhadap kelompok, ikatan
kekerabatan dan nilai kegotong-royongan.
Sementara itu di beberapa
tribe atau suku, ikatan kekeluargaan atau tali persaudaraan tetap
dipertahankan, bahkan ada kecenderungan menguat. Sebut saja misalnya
Kerukunan Keluarga Minang, Keluarga Sulawesi selatan, Keluarga Batak,
Etnis Keturunan Tionghoa.
Bila kita amati suku atau ikatan keluarga
yang tetap memepertahankan dan emmelihara sistem kekerabatan, dalam
berbagai aspek relatif lebih maju bila dibandingkan dengan suku yang
tidak lagi mempertahankan sistem kekerabatan, baik dibidang sosial
budaya, ekonomi, dan politik.
Sesungguhnya suku atau keluarga Besemah
patut berbangga karena Tanah Besemah telah banyak melahirkan
putera-uteri terbaik bangsa, baik ditingkat regional, nasional naupun
internasional dengan beraneka ragam profesi.
Basema suatu terminology
lebih dikenal dekat dengan satu bentuk kebudayaan dan suku yang berada
disekitar Gunung Dempo dan Pegunungan Gumay. Wialayah ini dikenal
sebagai Rena Basema. Sedangkan untuk terminology politik dan
pemerintahan, dipergunakan nomenklatur Pasemah. Pada masa kolonial oleh
Inggris dan Belanda menyebutnya Pasemah, bahkan sampai sekarang
Pemerintahan Republik Indonesia masih menyebutnya Pasemah.
Kebudayaan
suatu suku atau bangsa sangatlah dipengaruhi oleh lingkungan alam,
dimana mereka hidup dan berkehidupan. Kebudayaan itu adalah bagaimana
manusianya mengantisipasi dan bereaksi akan alam lingkungannya. Orang
yang hidup dipegunungan tentu akan lain sekali orang hidup dataran dan
dipinggir pantai. Siapakah orang Basema ? Bangsa atau suku bangsa
yang ada didunia mempunyai isi kebudayaan yang terdiri dari 7 unsur:
apakah kebudayaan itu sederhana, terisolasi, maju, besar maupun
kompleks, menurut para ahli antropologi terdiri dari unsur-unsur, yaitu : Bahasa System teknologi System ekonomi Organisasi social Sistem pengetahuan Religi Kesenian
Dengan mengetahui bentuk dan isi kebudayaan Basema maka kita dapat mengetahui apa dan siapa jemeu Basema.
Pasemah Sindang Merdika Hubungan
antara Basema dengan Kesultanan Palembang adalah 6: "Orang Pasemah
Lebar mempunyai catatan tradisional bahwa asal usul mereka adalah
keturunan dari Jawa. Pada saat kejayaan Majapahit, dua saudara yaitu
seorang laki-laki dan seorang perempuan, dengan beberapa orang
pengikutnya, meninggalkan kerajaan tersebut dan mendarat di pantai timur
Sumatera. Saudara perempuannya menetap di Palembang dan dalam waktu
singkat menjadi seorang penguasa; sebaliknya saudara laki-laki berjalan
terus kearah pedalaman, sampailah di lembah subur Pasemah. Dari sinilah
tempat ini pertama kali dikendalikan dan berpenduduk; dan semenjak itu
menjadi tanah asal suku yang ada sekarang.”
Pernyataan diatas citra
hubungan psikologis, social, geopolitik antara Kesultanan Palembang dan
Pasemah sehingga berhak menyandang bentuk wilayahnya sebagai sindang.
Dengan
kedudukan wilayahnya sebagai wilayah sindang, maka jelaslah orang
Basema mendapat tugas khusus dan tempat khusus didalam struktur
Kesultanan Basema mendapat tugas khusus dan tempat khusus didalam
struktur Kesultanan Palembang. Itulah sebabnya sindang ini disebut
Pasemah Sindang Merdika. Dapunta Hiyang adalah orang Pasemah.
Sebetulnya
hubungan antara Pasemah dan Palembang jauh sebelum kelahiran Kesultanan
Palembang Darussalam telah terjalin. John N. Miskic 7 ; kehidupan
perekonomian dan kebudayaan Pasemah pada sekitar abad ke-7 seperti
berikut :”Pasemah probably formed a prehistoric of cultural development
which supplied a necessary precondition enabling a sophiscated political
and economic centre of sriwijaya to development at Palembang, to which
Pasemah is linked by river.” Sedangkan Peter Bellwood 8 melihat, dari
segi pentrikhan pahatan-pahatan itu adalah bentuk nekara tipe Heger I
yang dipahatnya pada relief Batugajah, Airputih, dilukis juga pada
dinding ruang kubur Kotaraya Lembak dan mungkin juga diukir pada batuan
alami yang terbuka dekat Tegurwangi. Bukti-bukti ini dapat menyarankan
tarikh awal atau pertengahan milinium Masehi, meskipun mungkin ada yang
bertumpang tindih kurun waktunya dengan masa kerajaan Sriwijaya (sesudah
tahun 670 M).
Atas bukti-bukti dan saran serta pemikiran para pakar
arkeologi dan sejarah, sebetulnya sudah dapat disimpulkan, bahwa peran
Jabat Basema terhadap kerajaan Sriwijaya sangat besar, jika tidak
dikatakan menentukan. Oleh karena itu saya berasumsi, kalau Dapunta
Hiyang Srijayanaga, raja Sriwijaya yang bergelar sebagai Raja Gunung
adalah jemeu dari Gunung Dempo. Asumsi ini telah saya sampaikan pada
Seminar Internasional pada ulang tahun ke 25 Tahun Kerjasama Pusat
Penelitian Arkeologi dan Ecole francaise d’Extreme-Orient tahun 2001.
Asumsi ini tidak ada yang menolak, sebaliknya belum ada yang mendukung.
Jagat Besema bumi perjuangan. Jemeu
Besema adalah orang-orang pemberani, diakui oleh penulis kolonial.
Berwatak setia kawan, dan loyal terhadap komitmen yang membuat saudara
ataupun teman seperjuangan Sultan Palembang, meneruskan perjuang setelah
Sultan Mahmud Badaruddin II dikalahkan oleh Belanda pada tahun 1821.
Orang-orang Sindang Merdika di Pasemah menolak tindakan Belanda
tersebut. Mereka meneruskan perjuangan di Pasemah pada tahun 1821 sampai
1866. Bahkan pada saat-saat pertempuran melawan Belanda di Palembang
1821, orang-orang Besema sekali lagi bersumpah setia dengan Sultan
Palembang di Bukit Seguntang.
Pemberontakan yang diadakan oleh rakyat
Besema ini juga disebabkan dengan sikap Belanda yang tidak dapat
mengerti dengan bentuk dan karakter tradisional, dan tentunya kurang
pendekatan budaya. Pandangan yang picik terhadap orang Besema seperti
yang telah disampaikan terdahulu: orang Pasemah tak akan dapat diajak
bicara jika tidak diberi unjuk kekuatan militer, inilah sikap kolonial
yang sangat fatal.
Atas sikap ini pula menjadi jelas, ketika
meletusnya rentetan pemberontakan yang berkepanjangan dari kelompok
suku-suku didaerah Sindang, misalnya serangan orang Pasemah ke kota
Palembang (1829), Lahat(1829), Musi Ulu)1837), Rejang(1840), Ampat
Lawang(1840-1850) dan beberapa jenis pemberontakan kecil, serupa umunya
dari daerah Sindang, bahwa kekuasaan mereka didaerah Sindang tidak
terima begitu saja. Wilayah Besema dapat diduduki Belanda pada
penghujung tahun 1866.
Semangat pejuang Besema ini terus menyala
sehingga menjelang revolusi kemerdekaan. Jepang mendidik para calon
perwira yang nantinya melahirkan para perwira di Pagar Alam. Disekolah
Ghuyung ini Jepang hanya melatih fisik kemiliteran, akan tetapi semangat
kejuangan dihembuskan oleh semangat Besema. Tidak mengherankan kalau
dari Pagar Alam ini lahir para perwira yang berkiprah ditingkat
nasional.
Di alam Revolusi Fisik sekali lagi Jagat Besema menjadi
tempat perlindungan pemerintahan sipil Republik Indonesia dalam hal ini
Keresidenan Palembang. Demikian pula penempatan-penempatan kesatuan TNI,
seperti Brigade Garuda Dempo, Sub Teritorium Palembang (STP).
Wajar saja jika Pemrintahan Kota Pagar Alam mengklaim sebagai : Bumi Perjuangan sebagai mottonya. Daerah
Besemah terletak dikaki Bukit Barisan. Daerahnya meluas dari
lereng-lereng Gunung Dempo ke selatan sampai ke Ulu Sungai Ogan (Kisam),
ke Barat sampai ke Ulu Alas (Besemah Ulu Alas), ke Utara sampai ke Ulu
Musi Besemah (Ayik Keghuh), dan ke daerah timur sampai Bukit Pancing.
Pada Masa Lampik Empat Merdike Due daerah Besemah sudah dibagi atas
Besemah Libagh, Besemah Ulu Lintang, Besemah Ulu Manak, dan Besemah Ayik
Keghuh. Meskipun nama-namanya berbeda, namun penduduknya mempunyai
hubungan atau ikatan kekerabatan yang kuat (genealogis). Daerah
Besemah merupakan datran tinggi dan pegunungan yang bergelombang.
Ketinggian wilayah sangat bervariasi, dari ketinggian sekita 441 meter
dpl (diatas permukaan laut) sampai dengan 3.000-an meter lebih dpl.
Daerah
dataran tinggi 441 meter sampai dengan 1.000 meter dpl, sedangkan
daerah berbukit dan bergunung (bagian pegunungan) berada pada ketinggian
diatas 1.000 meter hingga 3.000 meter lebih dpl titik tertinggi adalah
3.173 meter dpl, yaitu puncak Gunung Dempo, yang sekaligus merupakan
Gunung tertinggi di Sumatera Selatan. Daerah Guning Dempo dengan
lereng-lerenganya pada sisi timur dan tenggara mencakup 58.19% dari luas
wilayah kota Pagar Alam sekarang yang 633,66 hektar. Bukit dan
Gunung yang terpenting diwilayah kota Pagar Alam antara lain adalah
Gunung Dempo (3.173 meter), Gunung Patah (2.817 meter), Bukit Raje
Mendare, Bukit Candi, Bukit Mabung Beras, Bukit Tungku Tige (Tungku
Tiga), dan Bukit Lentur. Bagian wilayah kota yang merupakan dataran
tinggi, terutama bagian timur, umunya disebut " Tengah Padang ". Daerah
pusat kota Pagar Alam yang meliputi kecamatan Pagar Alam Utara dan
kecamatan Pagar Alam Selatan atau wilayah bekas Marga Sumbai Besak Suku
Alun Due terletak pada ketinggian rata-rata 600 sampai 3.173 meter dpl. Derah
Besemah dialiri sejumlah sungai. Satu diantaranya adlah sungai Besemah
(Ayik Besemah). Pada zaman dahulu, keadaan alamnya sangat sulit
dilewati, menyebakan daerah ini jarang didatangi oleh Sultan Palembang
atau wakil-wakilnya (raban dan jenag). Kondisi alam yang cukup berat ini
menyebabkan sulitnya pasukkan Belanda melakukan ekspedisi-ekspedisi
meliter untuk memadamkan gerakan perlawanan orang Besemah.
Mengenai
keadaan alam Besemah pada permulaan abad ke sembilan belas, menurut
pendatang Belanda dari karangan Van Rees tahun 1870 melukiskan. Sampai
dengan tahun 1866 ada rakyat yang mendiami perbukitan yang sulit
didatangi disebelah tenggara Bukit Barisan yang tidak pernah menundukkan
kepalanya kepada tetangga walaupun sukunya lebih besar. Walau hanya
terdiri dari beberapa suku saja, mereka menamakan dirinya rakyat bebas
merdeka. Dari Barat Daya sulit ditembus ole orang-orang Bengkulu, dari
tiga sudut lain di pagari oleh Gunung-gunung yang menjulang tinggi dan
ditutupi oleh hutan yang lebat dan luas di daerah pedalam Palembang
ASAL MUASAL JEME BESEMAH Sampai
sekarang masih belum jelas dari mana sebenarnya asalusul suku Besemah.
Apakah teori-teori tentang perpindahan penduduk yang diikuti sekarang
berlaku juga bagi suku besemah, masih diliputi kabut rahasia. Namun yang
jelas, jauh berabad-abad sebelum hadirnya mitos Atung Bungsu, ditanah
Besemah, dilereng Guning Dempo dan dareh sekitarnya, telah ada
masyarakat yang memiliki kebudayaan tradisi megalitik dan bukti-bukti
budaya megalitik ditanah besemah sampai sekarang masih ada. Tetapi
permasalahannya, apakah jeme Besemah sekarang ini adalah keturunan dari
pendukung budaya megalitik tersebut ?.
Menurut Ahad, jurai tue puyang
Kedung Gunung Samat di Rempasai bahwa sebelum kedatangan Atung Bungsu
ke daerah sekitar Gunung Dempo, telah datang bergelombang dan
berturut-turut suku-suku atau bangsa-bangsa yang tidak di ketahui
asalnya. Suku-suku atau bangsa-bangsa itu adalah jeme Kam-kam, jeme Nik,
jeme Nuk, jeme Ducung, jeme Aking, jeme Rebakau, jeme Sebakas, jeme
Rejang dan jeme Berige. Pada masa tanah disekitar Gunung Dempo di duduki
oleh jeme Rejang dan jeme Berige, datanglah Atung Bungsu.
Dari
cerita orang-orang tua (jeme-jeme tue), secara fisik jeme Nik dan jeme
Nuk memiliki badang yang tinggi besar hidung mancung dan kulit putih
kemerahan. Jeme Ducung perawakan tubuhnya kecil, pendek, tetapi memiliki
kelincahan. Jeme Aking juga tinggi besar, kekar, kulitnya merah
keputihan, dan memiliki pendirian yang keras. Jeme Rebakau, berperawakan
sedang, dan Jeme Sebakas, memiliki postur tubuhnya seperti kebanyakan
orang-orang Melayu sekarang. Demikian pula jeme Rejang dan jeme Berige
tidak jauh berbeda dengan jeme Sebakas. Ahad mengatakan bahwa orang
besemah sekarang diperkirakan merupakan keturunan dari berbagai
suku-suku diatas, namun keturunan yang paling dominant berasal dari
puyang Atung Bungsu.
Menurut cerita rakyat di Besemah, Atung Bungsu
datang ke Besemah pada saat tempat ini sudah didiami oleh suku Rejang
dan Berige. Ia sempat berdialog dengan salah seorang pimpinan suku
Rejang yang bernama Ratu Rambut Selake dari Lubuk Umbai yang
nasing-masing merasa berhak atas tanah Besemah. Melalui sumpah, akhirnya
Ratu Rambut Selake mengakui bahwa yang paling berhak adalah Atung
Bungsu. Ucapan Atung Bungsu itu kira-kira sebagai berikut " jikalu
bulak, jikalu buhung, tanah ini aku punye, binaselah anak cucungku”.
Sedangkan
M. Zoem Derahap, yang dijuluki pak Gasak, dusun Negeri Kaye, Tanjung
Sakti, bercerita bahwa rakyat Lubuk Umbay yang di pimpin Ratu Rambut
Selake setelah mengakui tanah Besemah milk Atung Bungsu mereka lalu
diberi kedudukan sebagai sumbai dalam Jagad Besemah, tetapi tidak masuk
dalam sistem pemerintahan Lampik Empat Merdike Due. Sumbay mereka itu
dinamakan Sumbay Lubuk Umbay.
Sebagian masyarakat Besemah percaya
bahwa kedatangan Atung Bungsu itu bersama Diwe Semidang ( Puyang
Serunting Sakti ) dan Diwe Gumay. Diwe Gumay menetap di Bukit Seguntang
Palembang, sedangkan Diwe Semidang pada mulanya juga tinggal dibukit
siguntang, lalu pergi menjelajah sembilan batanghari sampai akhirnya
menetap disuatu tempat yang disebut Padang Langgar ( Pelangkeniday ).
Keturunan kesebelas dari Diwe Gumay yaitu puyang Panjang sebagai juray
kebalik-an baru menetap dibagian ilir tanah besemah yaitu di Balay
Buntar ( Lubuk Sepang ).
Ratu Majapahit beranak 7 (tujuh) orang: 1.
Puyang Meradjo Saktie, 2. Puyang Meradjo Gantie, 3. Puyang Meradjo
Pandoe, 4. Puyang Meradjo Gandoe, 5. Puyang Meradjo Kedam, 6. Puyang
Poetri Sandang Bidoek, 7. Puyang Atoeng Bongsoe.
Maka Ratu Sinuhun
memberi tahu pada anak laki-lakinya bahwa Poetri Sandang Bidoek akan
diambil anak [Dikawinkan] dengan Bagus Karang di negeri Raban, serta
akan dijadikan raja di Mojopahit (Majapahit). Anak laki-lakinya kecewa
sebab mengapa mereka yang laki-laki tidak dijadikan raja Mojopahit. Ada
permintaan dari Atoeng Bongsoe kepada Bagus Karang, kalau jadi raja di
Mojopahit yaitu minta ayam Papak Berambai Mas, memakai jalu intan
sekilan. Permintaan dikabulkan oleh Bagus Karang. Ratu Sinuhun menyuruh
ke-enam anak laki-lakinya berkarang mencari ikan. Maka Atoeng Bongsoe
berkarang digenting ulu Mana’ di Batanghari Cawang sampai habis ikannya.
Ikan dimasukkannya dalam boloh [Buluh=Bambu] Ritie Jadie. Sampai
sekarang Batanghari itu bernama Cawang Boloh Ritie dan tidak lagi
ditunggu ikan. Ketika Atoeng Bongsoe jalan dari [melalui] tanah Pasemah
yang pada waktu itu bernama Rimbo Dalam. Pada wktu itu belum ada seorang
pun yang tinggal didaerah ini, turun dari bukit Serelo lantas pulang ke
Mojopahit. Sampai di Mojopahit saudara puterinya sandang Bidoek telah
dikawinkan. Atoeng Bongsoe kecewa, mengapa tidak menunggu dia pulang
dari berkarang. Anak-anak Ratu Sinuhun kecewa, mereka lalu pergi
kebeberapa tempat, antara lain ke Loera Belido, ke Minangkabau, ke
Bugis, ke Aji Komering dan ke Bugis.
Atoeng Bongsoe kawin dengan anak
ratu Benua Keling Senantan Boewih (Boeway). Atoeng Bongsoe mendapat 2
(dua) anak laki-laki, yaitu: 1. Boejang Djawo (Bujang Jawe), 2. Rio
Rakian. Pada suatu ketika Boejang Djawo memecahkan piring Ratu Benua
Keling. Anak laki-laki Ratu Benua Keling marah kepada Boejang Bongsoe
dan ia berkata bahwa ia mau pulang. Ratu Benua Keling membagi pusaka
(warisan). Atoeng Bongsoe mendapat warisan tanah bumi. Ia mengambil
tanah sekepal dan setitik air dan satu biji batu dimasukkan di dalam
tongkat. Bagian Puyang Atoeng Bongsoe Pati(h) Ampat Lawangan Ampat
Pepandin Delapan. Maka Atoeng Bongsoe berjalan nunggangi (naik) kelapa
balik mudik sungai sampai di Palembang. Ketemu dengan Putri Sandang
Bidoek. Maka Pati Ampat Lawangan Sandang Bidoek di Palembang. Sandang
Bidoek memberi satu Bendik bernama Si Awang-Awang. Kata Sandang Didoek
"Bilamana Atoeng Bongsoe sudah mendapat kepastian dimana akan bertempat
tinggal pukul bendik Si Awang-awang sampai kedengaran dari Palembang”.
Maka Atoeng Bongsoe meninggalkan satu meriam bernama Segoering. Kata
Atoeng Bongsoe "Kalau ada musuh dari luaran, tembakkan meriam Segoering,
supaya segala anak cucunya membantu perang”. Sesudah itu Atoeng Bongsoe
mudik sampai muara Lematang, maka air musi ditimbang dengan air
Lematang [Ternyata setelah ditimbang lebih berat ayiek lematang], Atoeng
Bongsoe [memutuskan] akan mudik Batanghari Lematang. Ketika Boejang
Djawe akan mati, dia meninggalkan pesan sama Atoeng Bongsoe, dimana
te,pat Atoeng Bongsoe menjadikan jgad minta pasangkan asap kemenyan
sembilan dan minta dipasangkan kelmbu tujuh lapis, maka Boejang Djawe
kembali hidup. Sesudah itu Atoeng Bongsoe naik ke darat berhenti didalam
rimba. Rimab ini dinamakannya Padoeraksa [artinya daerah yang baru
diperiksa]. Ketika Atoeng berada dalam rimna ini datanglah ratu dari
dusun Lubuk Oembay bernama Ratu Rambut Selake [Pimpinan orang Rejang].
Berkatalah ratu Rambut Selake: Apa sebab Atoeng Bongsoe menempati
tanahnya ? Dijawab oleh Atoeng Bongsoe, " Tanah ini tanahku nian, sebab
waktu pulang berkarang di Genting Oeloe, mendapat ini tanah dan belum
ada satu orangpun yang menunggunya [menempati]”. Dijawab lagi oleh ratu
Rambut Selake, "Beghani sumpah, kalau beghani sumpah, ambiklah!”. Maka
tanah ini dikasihkan kepada Atoeng Bongsoe. Sesudah itu Rambut Selaku
mati, anak cucunya pindah ke Rejang. Setelah itu Atoeng Bongsoe pindah
dari rimba Padoekrakso dan kemudian membuat dusun Benua Keling. Suatu
ketika istrinya Atong Bongsoe, putri senantan Boewih turun membasuh
beras memakai bakul, dimasuki ikan Semah, Itulah sebabnya daerah ini
dinamakan Besemah [yang berarti sungau yang banyak ikan semahnya]. Sesudah
itu Atoeng Bongsoe, sesuai dengan pesan Bujang Dje\awe, ia membakar
kemenyan dan memasang kelambu tujuh lapis pada waktu malam 14 maka
bujang Djawe turun bergelar Puyang Dewate, dialah yang menjadikan Jagad
Besemah, sampai 5 (lima) gilirtidak diperanakkan. Setelh puyang Dewate
mati, berturut-turut terdapat puyang: 1. Indiro (Indra) sakti, 2. Indira
Muksa, 3. Telage Muksa, 4. Cendane Kilam, dan 5. mandoelike.
Puyang
Mandoelike beranak 5 ( lima) orang, yaitu: 1. Puyang Sake Semanung
(Seminung), menjadikan anak [Sumbai] Ulu Lurah, 2. Puyang Sake Sepadi
menjadikan sumbai Tanjung Ghaye, 3. Puyang Seghatus, menjadikan anak
Bayoeran, 4. Puyang Sake Saktie menjadikan marga Jati, 5. Puyang Seribu,
mati bujang, tidak ada keturunan. Keempat Puyang diatas menjumputi
{sic.) Depati Lang Bidaro (Depati Karang udare= Depati Karang Widara)
dengan Pangeran Sido Kenayan [Raja Palembang] mudik [ke tanah] Pasemah
minta tunjuki adat dengan hukum maka depati Lang Bidaro dengan Pangeran
Sido Kenayan mudik ke tanah Pasemah membawa adat dengan hukum aturan di
dalam Jagat yang ditetapkan Kerte [Aturan] delapan, bagaimana adat,
siapa salah disalahkan, siapa benar dibenarkan.
Dan Jagat Pasemah
ditetapkan Sindang Merdike, kalau ada budak lain atau barang hilang di
Palembang, timnbul di Pasemah, minta pulangkan di Palembang, siapa yang
menolong, di Palembang dapat Pesalin sepengadap.
Dan empat pesirah
ditetapkan memerintah di "Jagat Pasemah”. Bila salah seorang pesirah itu
mati, akan diganti orang lain. Tetapi penggantinya harus mendapatkan
persetujuan Sultan Palembang.
Pangeran Sido Kenayan dengan Depati
Lang Bidaro membagi tapal batas tanah Pasemah dengan Palembang. Dimulai
dari Way Umpu titik di penyebrangan Bantan, terus di Batu Banjar, laju
di gunung Seminung Ranau, dari situ turun Naurebo [terletak ditengah
gunung Seminung Ranau], laju di pematang Sengang tengah Ranau, Laju
terus tengah laman dusun Kuripan, ‘mungga Bukit Nanti, turun di Muare
Kemumu [Kisam], mungga di tangan Bukit Nanti terus di Pematang Galang
turun di Lubuk Muara Cendawan, laju di Batu Bindoe Muara Enim, dari situ
mungga Bukit Campang di Pagar Gunung, turun di Ayiek ijuk, terus di
Lubuk Muara Senangsangan Mulak Ulu, laju di Danau Batu, turuhan di
Arahan Tungku Tiga, netak Bubungan Arahan Tiga, laju di Padang Tamba,
mungga bukit Kuantjung Berghuk, dari situ terus di Petai Campang Due
Bukit Ulu Pangi (Kikim), dari situ laju di Sialang Pating Besi di Bukit
Sanggul, terus di Bukit Rindu Ati Bengkulu, turun di Padang Tjupak,
terus di Ulu Tuban, titik di teluk Merampuyan, laju di Padang Muara
Selibar Ulu Bengkulu, turun di Laut Besar, sampai di Tampaan Gadak
Sebelah Ulu, yang tersebut ini tanah bumi dikasihkan oleh Pangeran Sido
Kenayan pada orang Pasemah. Dari situ ke sebelah ilir Pangeran Sido
Kenayan dengan Depati Lang Bidaro yang punya.
Waktu itu tanah Pasemah
masih rimba semuanya. Semua orang bikin ladang darat [ume]. Dibelakang
ini tanah Pasemah jadi padang membuat siring untuk lahan sawah. Dan lagi
aturan Pasemah kalau sawah angkitan 100 bake harganya 100 gulden. Tanah
yang sudah dibuka, kemudian ditinggalkan (talang), boleh digarap orang
lain asal ada kata mufakat (berunding). Orang yang tidak bikin sawah
tidak dihukum Sultan Palembang. Jika ada tanah yang bisa dibikin
sawah,bu kan Pesirah yang membagi tanah itutapi orang yang bikin sawah
sendiri, lebih dahulu dikasih tahu Pesirah Awal sejarah pemerintahan
tradisional di Besemah tidak terlepas dari sistem pemerintahan
Kesultanan Palembang. Kaitan atau hubungan antara Kesultanan Palembang
dengan daerah-daerah diwilayah kekuasaannya dikatakan oleh Robert Heine
Gildern (1982). " di Asia Tenggara Ibukota Kesultanan Palembang bukan
saja merupakan pusat politis dan kebudayaan dari suatu kerajaan dan
masyarakat sekitarnya, juga merupakan pusat magis dari kerajaan
PEMERINTAHAN TANAH BESEMAH DIZAMAN DULU Awal
sejarah pemerintahan tradisional di Besemah tidak terlepas dari sistem
pemerintahan Kesultanan Palembang. Kaitan atau hubungan antara
Kesultanan Palembang dengan daerah-daerah diwilayah kekuasaannya
dikatakan oleh Robert Heine Gildern (1982). " di Asia Tenggara Ibukota
Kesultanan Palembang bukan saja merupakan pusat politis dan kebudayaan
dari suatu kerajaan dan masyarakat sekitarnya, juga merupakan pusat
magis dari kerajaan.
Selain sebagai pusat aktivitas kekuasaan politis
kebudayaan, dan magis Kesultanan Palembang secara stuktural membagi
wilayahnya sebagai ibukota, yang memang dibawah kendali Sultan langsung.
Daerah-daerah yang dekat dengan wilayah kerajaan disebut wilayah
Kapungutan, sedangkan wilayah yang berada jauh dari pusat kekuasaan
Kesultanan Palembang disebut wilayah Sindang yang lebih bersifat merdeka
dan hubungannya hanya mengirimkan seba kepada sultan. Diantara
kapungutan dan sindang tersebut adalah wilayah Sikap yang mempunyai
tugas-tugas tertentu dari sultan. Wilayah kesultanan palembang diatas,
tidak begitu identik dengan wilayah provinsi Sumatera-Selatan sekarang
ini. Dalam struktur hirarki pemerintahan Kesultanan Palembang
Darussalam, strata paling atas dan paling berkuasa adalah sultan,
sebagai pengemban " wahyu Tuhan ". ( pulung, konsep keraton Jawa ) untuk
memerintah. Susuhunan adalah gelar yang diberikan kepada sultan yang
tidak menjabad lagi.
Struktur kedua adalah kalangan bangsawan atau
pangeran yang menguasai lima sampai duabelas dusun yang merupakan bagian
dari wilayah kesultanan yang diberikan sultan untuk nafkah hidup
mereka. Pemberian kekuasaan atas wilayah tersebut, disebabkan sultan
Palembang tidak mungkin memberikan gaji kepada semua pangeran yang cukup
banyak jumlahnya. Selama seorang pangeran tetap loyal dan disukai oleh
sultan, kedudukannya dapat diwariskan kepada keturunannya.
Struktur
ketiga adalah marga-marga sikap yang terdiri dari beberapa dusun atau
talang. Penduduk dusun itu berkewajiban mengurusi gawe raja secara
pribadi. Selain juga bertugas mengangkut barang barang penghasilan dari
sultan, tetapi mereka dibebaskan dari biaya pembayaran pajak dan
tiban-tukon ( Amin, 1996). Struktur yang ke empat adalah marga-marga
sindang yang berfungsi sebagai penjaga batas yang merdeka. Suku Besemah
dalam status ini mereka tidak dibebani tiban-tukon maupun pajak serta
pekerjaan sultan lainnya. Kewajiban mereka hanya menjaga tapal batas
agar rakyat diwilayah kesultanan palembang tidak melarikan diri ke
Lampung atau Banten. Kewajiban ini terutama dibebankan kepada
sumbay-sumbay yang terdapat didaerah Besemah.
Dalam sistem
pemerintahan tradisional besemah dikenal istilah sumbay dan juray.
Pengertian sumbay ini perlu dijelaskan agar maknanya dapat diketahui
oleh orang besemah yang masih hidup sekarang dan yang akan datang. Pada
masa puyang pendiri Besemah masih hidup, ia mempunyai juray-juray. Juray
adalah cikal bakal adanya sumbay.
Juray suatu sumbay ada yang
menetap ditanah besemah tetapi ada juga yang merantau keluar dan tidak
kembali lagi. Mereka kemudian membaurkan diri ( nyunggutka ) dan
beradaptasi dengan lingkungan barunya ( Shoim, 1989). Anak cucu puyang
ini membentuk tata kehidupan sesame mereka. Dari sini timbul keinginan
untuk mendudukkan juray dari puyang-puyang lain, agar tidak muncul
persengketaan diantara keturunan mereka. Juray membentuk kaum-kaumnya
dikemudian hari ia menjadikan kaumnya sebagai suatu kesatuan yang
dinamakan sumbay. Dengan demikian sumbay merupakan tali pengikat
diantara sesame juray dan juga dalam sumbay, sehingga kata seganti
setungguan dalam petulay atau sumbay dapat diwujudkan.
Makna sumbay
dan juray adalah sama karena bermakna keturunan, tetapi dalam
kedudukannya menunjukkan adanya perbedaan, karena juray satu dengan
juray lainnya kadangkala berbeda nama sumbay. Perkembangan keturunan
juray berada pada tempat yang sama tetapi dapat juga terjadi ditempat
yang lain, karena ada juray yang telah mendirikan dusun lain. Akan
tetapi anatar sumbay dengan juray selalu mempunyai ikatan, terutama
mereka dalam satu keturunan puyang yang sama. Dalam perkembangan selanjutnya, pada pertengan abad ke 19, penduduk besemah sudah terbagi atas enam Sumbay, yaitu : Sumbay Pangkal Lurah (berjumlah 24 dusun) Sumbay Ulu Lurah (berjumlah 38 dusun) Sumbay Mangku Anum (berjumlah 19 dusun) Sumbay Besak (berjumlah 52 dusun) Sumbay Penjalang Sumbay Semidang MARGA-MARGA TERAKHIR DI KABUPATEN LAHAT (TANAH BESEMAH), YANG MENGGUNAKAN NAMA SUMBAY Marga Penjalang Suku Empayang Kikim dan Saling Ulu (PSEKSU), di Sukajadi Kikim; Kecamatan Kota Lahat; 11 Dusun Maraga Penjalang Suku Empayang Ilir (PSEI), di Gunungkerta, Kecamatan Kikim, 8 dusun. marga Penjalang Suku Lingsing (PS Lingsing), di Pagarjati, Kecamatan Kikim; 7 dusun Marga Penjalang Suku Pangi (PS Pangi), di Nanjungan, Kecamatan Kikim; 7 dusun Maraga Sumbay Besar Suku Alundua (SPS Alundua), di Alundua, Kecamatan Kota Pagaralam; 28 dusun.
Marga Sumbay Mangku Anum Suku Muara-Siban (SMAS Muara-Siban), di Bumiangung, kecamatan Kota Pagaralam; 20 dusun. Marga
Semidang Suku Pelangkendiday (SS Pelangkendiday). Di Pelangkendiday
(kemudian di Sukajadi), kecamatan Kota Pagaralam; 7 dusun. Maraga Sumbay Besar Suku Lubukbuntak (SBS Lubukbuntak), di Lubukbuntak, kecamatan kota Pagaralam; 19 dusun. Maraga
Sumbay Besar Suku Kebun-jati (SBS Kebun-jati) di Kebun-Jati (Kemudian
Airdingin baru), Kecamatan Kota-Agung (Sebenarnya Kota-Agung, dari
Kute-agung); 27 dusun.
Marga Penjalang Suku Tanjungkurung (PS Tanjungkurung), di Tanjungkurung (kemudian di Tanjungbay), kecamatan Kuta-agung; 5 dudun. Marga Sumbay Mangku Anum Suku Penantian (SMAS Penantian), di Penantian (kemudian di Talangtinggi), Kecamatan jaray; 21 dusun. Marga Sumbay Tanjung Raya Suku Muara-payang (STRS Muara-payang) kemudian ditalang tinggi , kecamatan jaray; 7 dusun. Marga
Sumbay Ulu Lurah suku pajarbulan (SULS Pajarbulan), di Pajarbulan
(kemudian disimpingtiga Sumur), Kecamatan Jaray; 29 dusun. Marga Semidang suku Seleman (Marag Semidang), di Seleman, kecamatan Muara-pinang; 10 dusun. Diluar
wilayah Kabupaten Lahat (Tanah Besemah), marga-marga yang menggunakan
nama Sumbay, yaitu kesatuan genealogis masyarakat Besemah atau
masyarakat asal Besemah adalah Marga Semidang Alundua suku 2, Kecamatan Pengandonan, Kabupaten Ogan Kemering Ulu (OKU); Provinsi Sumatera Selatan; 2 dusun. Marga Semidang-Gumay, Kecamatan Pino, Kabupaten Bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu. marga Semidang Alas, Kecamatan talo, Kabupaten bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu.
sumber : http://besemah.blogspot.com/
|